Selasa, 11 November 2008

Kearifan Dayak Bakati Dalam Pengelolaan SDA

Oleh: Bambang Bider

Kearifan Lokal (Local Wisdom)

Orang Bekati adalah salah satu dari sekian banyak sub suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat. Sentra komunitas sub suku Bekati sebagian besar mendiami wilayah utara Kabupaten Sambas, di Kecamatan Pemangkat, Bengkayang, Ledo, Sangau Ledo, dan Seluas. Dari segi etnolinguistik orang Bekati dapat dibagi dalam tiga aksen atau dialek besar, yaitu orang Bekati yang menggunakan bahasa Bekati Riok, Bekati Sara, dan Bekati Lara. Dari segi populasi penutur bahasa Bekati Lara lebih banyak dibanding yang lain. Dalam pergaulan dan berinteraksi di wilayah Banoe, mereka saling mengidentifikasi diri ats perbedaan akses masing-masing. Namun dalam berinteraksi dengan masyarakat luas mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Bekati saja. Perbedaan dialek dan akses tidak menjadi suatu hambatan dalam interelasi dan komunitas di antara mereka. Tidak diketahui dengan pasti kapan penggunaan label Bekati ini sebagai penamaan sebuah sub suku untuk ketiga wilayah Banoe tersebut. Analisis secara sepintas kata Bekati berasal dari kata Kati? yang dalam bahasa Indonesia berarti Tidak. Sedangkan awalan Ba? mengacu pada penegasan kata Kati? sebagai elemen pelengkap demi tidak rancunya kata tersebut. Ba? secara elastis dapat pula diartikan sebagai instrument yang secara tidak langsung mengacu kepada kelompok-kelompok orang yang berbahasa Bakati tersebut.


Perspektif tentang Tanah Menurut perspektif Dayak Bakati tanah dalam arti fisik berarti tanah sebagaimana diartikan dalam kamus, yaitu permukaan kulit bumi yang berada paling atas. Sedangkan dalam arti filosofis, tanah diartikan sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung secara kontinyu dari awal sampai akhir dan dalam peristiwa tersebut terimplikasi segala peristiwa baik dalam arti magis maupun dalam realitas keseharian yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tatanan masyarakat adat ini. Misalnya, /tana baneen/. Sebelum dijadikan tana baneen tanah tersebut adalah tanah biasa, namun di suatu waktu di tanah tersebut tejadi peristiwa (misalnya pembunuhan dll), maka dalam adat ini tanah tersebut dipandang sebagai kawasan terlarang. Hal tersebut dalam realitas keseharian mempunyai dampak dan secara spikis tanah tersebut telah menata sebagai asumsi masyarakat mengenai tanah tersebut. Dan berbicara mengenai tanah?, maka harus kita lekatkan dengan air yang dalam bahasa Dayak Bakati disebut sebagai ,em>tana paitn yang berarti tanah air; dan secara langsung kita harus membicarakan pula segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Secara deskiptif orang Dayak Bakati mempunyai konsep tersendiri tentang tanah, diantaranya : Pertama, /tana tarutn orokng emmbakng/, yang berarti konsep pemahaman mengenai bumi, air dan kekayaannya. Pemahaman konsep ini bersifat universal tidak hanya terbatas pada konsep /tammbao/ (kampung), /banoe/ (kawasan geo politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan adat istiadat) dan /nagari /(negara), tetapi mencakup dunia secara menyeluruh. Kedua, gale pate, yang dapat diartikan sebagai kawasan yang telah diklaim oleh sekelompok orang sebagai kawasan perburuan dan untuk mencari bahan-bahan bangunan. Munculnya konsep ini tidak terlepas dari tatanan adat dan lingkungan sekitarnya pada masa itu. Dulu, selain pertanian (berladang), berburu adalah kegiatan yang tidak kalah penting dalam evolusi pembentukan budaya masyarakat Dayak Bakati ini. Berburu merupakan kegiatan prestise, khususnya bagi kaum laki-laki. Hal ini ditandai dengan banyaknya kulit atau rahang binatang buruan yang biasanya dikumpulkan di dekat perapian. Makin banyak yang dikumpulkan makin dikagumi dan bisa dijuluki sebagai pangaba pangamih (pemburu ulung). Secara politis kegiatan berburu juga mempunyai arti sendiri dalam kaitannya dengan penguasaan teritorial. Dalam berburu mereka menjelajah hutan untuk mencari kawasan yang masih banyak binatang buruan maupun kekayaan nabati. Setelah ditemukan kawasan yang dikehendaki, maka di kawasan tersebut segera didirikan Pate . Dan bila ternyata mudah mendapatkan buruan, maka kawasan tersebut akan diklaim dengan cara adat dan diberi tanda dengan /tempayan tajau/. Dari tindakan pengklaiman inilah muncul istilah /gale pate/. Di kawasan galeâ?? pateâ?? tidak boleh dilakukan kegiatan pertanian atau mengerjakan sesuatu yang dapat menurunkan fungsi sebagai kawasan konservasi. Dari sinilah dikenal istilah hutan adat. Galeâ?? pateâ?? juga berfungsi sebagai baat (batas) banoe satu dengan yang lain. Ketiga, /pakudh (makudh) songe/, yaitu suatu tindakan komunitas masyarakat untuk mengklaim suatu sungai. Hal ini tidak berbeda jauh dengan gale pate’, hanya berbeda subjeknya saja, yaitu sungai. Keempat, /noan tuetn/, yaitu membuka hutan primer untuk pertanian atau perkampungan. Bila dilakukan secara individual, maka areal tersebut akan menjadi lahan milik, tetapi bila dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat, maka akan menjadi milik kolektif bersama. Kelima, /ba omaâ??/ , yaitu cara mendaptkan tanah dengan berladang. Setelah selesai menanam padi di ladang, /tamureâ??/ bekas ladang ini akan diistirahatkan selama 15 â?? 20 tahun. Dan bila ingin memiliki lahan ini maka disamping menanami dengan tanaman pertanian, harus menanam juga dengan tanaman keras seperti tengkawang, karet, dan buah-buahan. Cara ini merupakan penguasaan terkuat atas suatu lahan menurut adat Dayak Bakatiâ??. Penggunaan Tanah (Land Use) Ada beberapa konsep penggunaan tanah dalam masyarakat Dayak Bakati, diantaranya : Satu, /tanaâ tammbao/tana tamaoo, yaitu tanah sebagai lokasi perkampungan. Biasaya tanah sebagai perkampungan ini terletak di daratan tinggi atau pada /tanaâ?? lammbaukng/ (tanah landai di tepi sungai), dan merupakan tanah yang dimiliki secara kolektif. Dua, /tammbao boah/tammbao ammba, yaitu tammbao/ (bekas perkampungan) yang telah ditinggalkan penghuninya selama antara 20 â?? 40 tahun. Disebut tammbao boah karena terdapat banyak tanaman buah-buahan di lokasi tersebut, dan disebut tammbao ammba karena merupakan bekas pemukiman. Tanah tersebut hingga sekarang masih diakui sebagai tanah adat kolektif. Tiga, /tanaâ?? tammag/, yaitu tanah yang difungsikan sebagai lokasi makam. Tanah ini dimiliki oleh setiap tammbao, dan biasanya dicirikan oleh adanya pohon-pohon besar karena pada areal tersebut pohon-pohon tersebut tidak boleh ditebang. Empat, /tanaâ?? tuetn (tuetn adat)/, yaitu kawasan konservasi adat dimana pada kawasan tersebut terdapat kekayaan hayati yang kelestariannya menjadi tanggungjawab bersama komunitas yang melindunginya. Kawasan ini menjadi cadangan dimana mereka berburu dan meramu, dan juga berfungsi sebagai sumber air. Kawasan ini tidak boleh diladangi secara sembarangan, karena disamping sebagai kawasan lindung, kawasan ini juga dikeramatkan. Lima, /tanaâ?? tampes, / yaitu kawasan yang luas dan diperuntukkan sebagai kawasan ladang daur ulang. Pada kawasan ini terdapat beratus-ratus tamure, yaitu bekas ladang yang baru saja ditinggalkan/dipanen pemiliknya. Tamure ini biasanya diladangi kembali oleh orang lain dengan meminta izin kepada orang terakhir yang berladang di areal tersebut. Enam, /tanaâ?? paper/, yaitu dataran tinggi atau tanah pegunungan. Paper kadang memiliki tanah rata di puncaknya dengan luas antara 5 â?? 7 hektar. Bila paper tersebut merupakan bekas perladangan (tamure) maka vegetasinya kebanyakan berupa pohon kecil dan belukar solum; bila masih berupa hutan perawan (tanaâ?? tuetn), maka kebanyakan pohonnya berbatang lurus, besar, dan tinggi, dan bila paper tersebut merupakan kawasan pemukiman (tammbao), maka areal tersebut ditumbuhi tanaman masyarakat penghuni tammbao. Tujuh, /tanaâ?? panndaadh/ajah/, yaitu tanah dengan kemiringan 45? - 75? di sisi paper. Bila kemiringannya melebihi di atas maka disebut Sareab, dengan ciri : tanah podzolik merah kuning, daya menahan air jelek, peka terhadap erosi, produktifitas tanah rendah, dan vegetasinya kebanyakan berupa belukar dan pohon yang berbatang lurus. Bila ajah tersebut ada;aj soso ajah tammbao, maka yang ditemukan kebanyakan berupa pohon buah-buahan dan kebun karet masyarakat. Delapan, /tanaâ?? tekel. / Terletak di bawah ajah atau antara ajah dengan lambahukng, agak landai sedikit bergelombang, jenis tanah humus, vegetasinya kebanyakan belukar, peka terhadap erosi, cukup subur untuk ladang, dan produktivitasnya tinggi. Sembilan, /tanaâ?? lammbaukng. / Arela ini disebut juga hutan daerah dataran rendah air tawar, karena terletak di tepi sungai. Sepuluh, Tana Ompokng: yaitu kawasan yang biasanya terletak di bukit atau gunung yang berisi kumpulan tanaman pohon buah (umumnya durian, asam, dll) yang dimiliki oleh satu atau beberapa kampung. Pendek kata: Menurut konsep orang Dayak Bakati tidak ada LAHAN TIDUR atau TANAH KOSONG!

3 komentar:

Unknown mengatakan...

orang dayak memang tidak begitu arif dalam pengelolaan sda. karena orang dayak tidak begitu penting mengelola sda.bagaimana mungkin bisa mengelola sda kalau pendidikannya saja kurang?bls.....

Unknown mengatakan...

kenapa orang dayak hususnya didaerah bengkayang tidak mengangap penting sekolah/menempuh pendidikan? tetapi malah penting ingin pergi ke Malaysia?......ini gawat orang dayak..

Unknown mengatakan...

Pak davit.icit sebenar ngate ure ka kampong bengkayang ingin membangun bengkayang. bisa ak icit mahe dukungan ka,akup,tentang rencana icit diah?...........